Selasa, 11 Oktober 2011

Dampak Media bagi Perkembangan Pelajar

Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang perlindungan anak, bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, dikatakan bahwa pelajar adalah peserta didik yang mengikuti kegiatan pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Sudah jelas, setiap pelajar tingkatan TK/DI, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan SLB adalah seorang anak.

Anak adalah titipan Tuhan, anugerah yang diberikan Tuhan kepada orang tua, manusia seutuhnya yang memiliki harkat dan martabat, pewaris risalah, penerus regenerasi bangsa.

Jumlah penduduk Indonesia menurut Badan Pusat Statistik hasil sensus tahun 2006 adalah 222.191.544 jiwa, dimana 35,98% nya adalah anak-anak. Dengan jumlah anak yang demikian besar, adalah menjadi harapan bagi penulis untuk memberikan gambaran dampak media bagi perkembangan pelajar, terutama perkembangan mentalnya sebagai generasi penerus bangsa.

Dampak media disini yang dimaksud adalah media informasi dan telekomunikasi baik cetak maupun elektronik, seperti koran, majalah, radio, televisi, video, internet, dan perangkat komunikasi seperti telepon dan telepon genggam (handphone).

Media akan bersifat positif jika : muatanya edukatif (bersifat mendidik), entertaint (hiburan semata) yang dimanfaatkan untuk olah rasa dan pencerahan, dikonsumsi secara proporsional, dan ada pendampingan sebagai tempat bertanya baik oleh orang tua atau siapa saja sebagai pendamping anak dalam menikmati media. Sebaliknya, media akan bersifat negatif jika : muatannya tidak edukatif, dalam hal ini pada umumnya bersifat pornografi dan kekerasan; hiburan yang bersifat atau mengungkapkan pelecehan atau kata-kata kasar, tidak proporsional (dikonsumsi lebih dari 2 jam secara terus menerus), tidak ada kontrol dan pengawasan orang tua.

Menurut TopTenReviews.com@2006, rata-rata usia anak mulai mengenal pornografi adalah pada usia 11 tahun dan  penggemar internet pornografi adalah anak usia 12 – 17 tahun. Dan menurut sumber tersebut juga, bahwa statistik industri pornografi di internet adalah sebanyak 4,2 juta website pornografi, sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 100.000 website yang bersifat pornografi dengan studi penelitian bahwa Indonesia masuk dalam peringkat ke-7 terbesar dunia yang mengakses website pornografi. Dengan prosentase jumlah anak Indonesia, maka hal ini merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua, pemerintah dan kita semua agar dampak negatif dari media tidak mempengaruhi perilaku anak Indonesia.

Di samping media internet, televisi merupakan media yang hampir menjadi faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan anak. RCTI yang disiarkan di 390 kota dan menjangkau 169,9 juta populasi penduduk Indonesia, SCTV yang disiarkan di 260 kota dan menjangkau 167,8 juta populasi penduduk Indonesia, Indosiar yang disiarkan di 176 kota dan menjangkau 170 juta populasi penduduk Indonesa, dan TPI yang disiarkan di 138 kota dan menjangkau 129,7 populasi penduduk Indonesia (Tempo, 19/03/2006) adalah stasiun-stasiun televisi swasta yang menayangkan berbagai konten yang dapat dinikmati oleh sebagian besar penduduk Indonesia terutama anak-anak.

Menurut Dr. Victor B. Claine, seorang psikolog, bahwa perilaku menyimpang anak-anak akibat dampak negatif media pornografi dapat berupa: adiksi (bertambahnya animo seksual anak), eskalasi (perilaku seksual yang semakin menyimpang—phaedophilia), desentisasi (berkurangnya rasa sensitivitas anak), dan acting out (mencoba dan bertindak seksual). Bahaya pornografi ini akan semakin meluas dan berakibat kepada ekploitasi dan komoditasi pada anak, remaja dan perempuan dewasa; erat kaitanya dengan pelacuran dan perbudakan seks, perilaku menyimpang dalam seks, sampai dengan resiko reproduksi pada anak seperti HIV/AIDS dan penyakit kelamin lainnya.
(Sumber: Wirianingsih, 2008, Ketua Umum ASA Indonesia)

Hal-hal inilah yang harusnya kita semua hindari dan coba pahami, betapa rentannya anak terhadap resiko yang diciptakan oleh media. Dampak positif atau negatif media hendaknya menjadi sebuah acuan bagi orang tua untuk mendidik anak. Perilaku menyimpang tidak akan terjadi jika orang tua memperhatikan pendidikan dasar agama dan prakteknya, dapat berkomunikasi dengan baik dengan anak, tidak gagap teknologi, serta mempunyai waktu yang cukup untuk anak.

Tugas dan tanggung jawab orang tua tidak hanya sampai disitu, orang tua harus mampu berkomunikasi setiap saat dengan anak, mengenali diri anak, menumbuhkan harga dan rasa kepercayaan diri, membiasakan anak untuk berpikir, memilih dan mengambil keputusan, serta membekali anak dengan pengetahuan dan keterampilan.

Orang tua harus mampu menyelesaikan setiap urusan dalam rumah tangga, agar anak merasa nyaman dan dapat berkembang sebagaimana mestinya. Memberikan kenyaman dan sentuhan orang tua yang diidam-idamkan seorang anak. Menjaga dan melindungi mereka dari setiap hal yang akan merusak perkembangan anak, seperti mewaspadai dengan siapa dan bagaimana anak bersosialisasi di sekolah maupun di luar sekolah.

Untuk itulah, orang tua yang baik adalah orang tua yang mampu mendidik dan membina anak-anaknya agar benar-benar menjadi anak generasi penerus bangsa, yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi, serta menjadi pewaris risalah dan bekal yang berharga di akhir nanti.



Penulis,

Agus Triono, S.Pd.
(SMA Negeri 1 Sobang)

Senin, 10 Oktober 2011

Linguistik


Sesungguhnya, para penyelidik hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan tunggal tentang asal-usul bahasa. Diskusi tentang asal-usul bahasa sudah dimulai ratusan tahun lalu, Malahan masyarakat linguistik Perancis pada tahun 1866 sempat melarang mendiskusikan asal-usul bahasa. Menurut mereka mendiskusikan hal tersebut tidak bermanfaat, tidak ada artinya karena hanya bersifat spekulasi.
Penelitian Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Teori-teori ini dikenal dengan istilah divine origin (teori berdasarkan kedewaan/kepercayaan) pada pertengahan abad ke-18. Namun teori-teori tersebut tidak bertahan lama. Teori yang agak bertahan adalah Bow-wow theory, disebut juga onomatopoetic atau echoic theory Menurut teori ini kata-kata yang pertama kali adalah tiruan terhadap bunyi alami seperti nyanyian ombak, burung, sungai, suara guntur, dan sebagainya. Ada pula teori lain yang disebut Gesture theory yang menyatakan bahwa isyarat mendahului ujaran
Teori-teori yang lahir dengan pendekatan modern tidak lagi menghubungkan Tuhan atau Dewa sebagai pencipta bahasa. Teori-teori tersebut lebih memfokuskan pada anugerah Tuhan kepada manusia sehingga dapat berbahasa. Para ahli Antropologi menyoroti asal-usul bahasa dengan cara menghubungkannya dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Dari sudut pandang para antropolog disimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia menjadi homo sapiens juga mempengaruhi perkembangan bahasanya. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa pada manusia berkembang sejalan dengan proses evolusi manusia. Perkembangan otak manusia mengubah dia dari agak manusia menjadi manusia sesungguhnya. Hingga akalnya manusia mempunyai kemampuan berbicara. Pembicaraan tentang asal-usul bahasa dapat dibicarakan dari dua pendekatan, pendekatan tradisional dari modern para ahli dari beberapa disiplin ilmu masing-masing mengemukakan pandangannya dengan berbagai argumentasi. Diskusi tentang hal ini hingga sekarang belum menemukan kesepakatan, pendapat mana dan pendapat siapa yang paling tepat.
Banyak definisi tentang konsep bahasa yang dinyatakan para ahli bahasa. Pada umumnya definisi tersebut berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang bersifat arbitrer dan konvensional, merupakan lambang bunyi. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai ciri-ciri bahasa, yaitu (1) bahasa itu adalah sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, (12) bahasa itu bersifat manusiawi.